Rabu, 17 Agustus 2011

Bila si Zahid Bertemu Penguasa

Hampir tiap hari majelis Sufyan Ats-Tsauri selalu dibanjiri para pemikir dan pencari ilmu, serta masyarakat awam yang mengharapkan fatwa-fatwanya. Konon, ulama sekaliber Abu Hanifah pun sering berguru padanya. Tidaklah mengherankan bila suasana religius dan ilmiah menjadi warna dan jati diri kota Kufah, tempat tokoh sufi Sufyan Ats-Tsauri itu berasal.
Kepopuleran Sufyan Ats-Tsauri menarik perhatian Kahlifah Abu Ja far Al-Mansur yang menjadi penguasa saat itu. Apalagi Sufyan tergolong ulama yang sangat berani melakukan kritik atas kebijakan-kebijakannya. Sang khalifah pun memanggil Sufyan untuk datang ke istananya. Dia menawarkan sebuah jabatan penting dalam jajaran pemerintahannya. Namun tawaran itu ditolaknya mentah-mentah.

"Mengapa kamu tidak mau duduk sejajar dan menjadi terhormat seperti diriku?" tanya khalifah.
"Bagiku kekuasaan bukan sebuah kehormatan melainkan suatu kehinaan," jawab Sufyan dengan tenang.
"Bagaimana bisa kau katakan begitu?" tanya penguasa itu penasaran.
"Sering kutemui manusia zuhud yang hidup sederhana, rendah hati dan suka mengasihi sesama, namun begitu ia diberi kekuasaan, pola hidupnya terus berubah. Ia menjadi manusia sombong, suka berfoya-foya dan kejam terhadap manusia lemah," jawab Sufyan seperti menyindir.
Mendengar jawaban Sufyan, merah padamlah muka sang khalifah karena marahnya. Segera ia berseru kepada para pengawalnya, "Pukul pembakang ini! Dia telah berani melawanku."
Para pengawal itu mematuhi titah baginda. Mereka memukul tubuh Sufyan berkali-kali. Karena Sufyan tidak mengadakan perlawanan dan mereka kecapekan sendiri, maka para pengawal itu pun berlalu. Sepeninggal mereka, orang-orang mendekati Sufyan dengan rasa iba dan air mata. Kepada orang-orang yang mengasihinya itu Sufyan berkata, "Bukan pukulan dan cercaan yang aku takutkan. Aku justru khawatir bila hidupku bisa diperdaya dengan harta dan kekuasaan sehingga mata hatiku menjadi buta untuk memandang kejahatan mereka dengan kacamata kebenaran."
Meskipun telah mendapatkan penganiayaan dari penguasa lantaran kritik-kritiknya yang tajam, namun hal itu tidak membuat Sufyan menjadi jera. Ia tak segan-segan memprotes kebijakan dan tindakan penguasa yang dianggapnya tidak sejalan dengan tuntutan agama. Seperti biasanya setiap kali habis shalat, Sufyan melanjutkannya dengan zikir yang lama. Ketika sedang tekun menyebut asma Allah, khalifah datang ke masjid dengan sikapnya yang congkak. Penguasa itu terus shalat di depan Sufyan sambil memutar-mutar kumisnya. Melihat ulah khalifah, Sufyan merasa tak sanggup menguasai diri. Maka setelah khalifah itu selesai dalam shalatnya, Sufyan pun segera berkomentar, "Tidak sepantasnya engkau menghadap Yang Maha Agung dengan sikap yang sombong. Di hari perhitungan kelak, shalatmu tak ubahnya seperti bangkai busuk yang hanya layak untuk dicampakkan."
"Aturlah bicaramu!" bentak khalifah dengan jengkelnya.
"Meluruskan manusia busuk seperti kamu adalah bagian dari tugasku," jawab Sufyan tegas.
Mendengar jawaban Sufyan, khalifah itu tak bisa mengendalikan amarahnya. Matanya melotot dan nafasnya naik turun karena gemasnya. Segera dipanggilnya pengawal istana yang sedang berjaga-jaga di luar masjid. "Tangkap si mulut lancang itu, lalu hajar dia sampai kapok!" perintah khalifah.
Berbagai siksaan dan penganiayaan tidak menyurutkan sikap Sufyan untuk senantiasa melemparkan kritik-kritik pedas kepada penguasa. Setelah gagal memberi pelajaran pada Sufyan dengan tindakan keras, khalifah berusaha meredam kritik-kritik Sufyan dengan uang dan materi. Diberinya Sufyan beribu-ribu dirham uang, dengan harapan ia mau merubah sikap-sikapnya yang membuat gerah penguasa. Tapi rupanya Sufyan tetap teguh pada pendiriannya.
"Aku sudah cukup dengan sedikit harta dari hasil keringatku," jawab Sufyan.
"Hidupmu akan lebih baik dan berkecukupan dengan memiliki banyak uang," desak khalifah.
"Bagiku bekal taqwa dan amal shaleh lebih berharga daripada memiliki uang yang lebih pantas menjadi hak si miskin," jawab Sufyan.
Khalifah Abu Ja far Al-Mansur ternyata tak juga jera dalam membujuk Sufyan agar mengikuti pola hidupnya. Gagal dengan money-politiknya, khalifah mencoba menyuap Sufyan dengan emas dan permata. Ia mengira bahwa Sufyan akan silau dengan gemerlapnya perhiasan yang indah-indah. Tapi, lagi-lagi harapannya meleset. Sufyan tetap menolak iming-iming gaya barunya.
Pola hidup khalifah dan pejabat-pejabatnya bertambah hari semakin jauh dari tuntunan agama. Kezaliman, ketidak adilan, foya-foya, dan segala bentuk kemaksiatan benar-benar mencemari kekuasaannya. Ucapan dan teguran Sufyan yang bermaksud meluruskan mereka ke jalan yang benar tak ada artinya. Mata, hati, dan telinga mereka benar-benar sudah mati. Sufyanlah yang justru terusik ibadahnya di tengah-tengah manusia yang berhati buta. Maka, dia pun terpaksa mengambil sikap untuk menjauhi negeri yang penuh maksiat itu.
Sufyan mengembarakan kemerdekaan nuraninya menuju kota Mekkah. Di tempat yang baru itu ia mengisi hidup seutuhnya untuk beribadah. Ia menuntun jiwanya menuju derajat manusia yang benar-benar suci, hingga akhirnya ia temui dirinya sebagai manusia yang khusyuk dalam ibadah dan perilakunya. Syahdan, kekhusyukan Sufyan dalam shalat telah membuat burung-burung pipit yang bertengger di atas pundaknya, disaat menghadap Allah menjadi nyaman.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Bila si Zahid Bertemu Penguasa”

Posting Komentar

 

Kegiatan Terbaru

Dakwah Kampus

Lowongan Kerja Terbaru

© 2009 Fresh Template. Powered by Blogger.

Fresh Template by NdyTeeN.